Aksara Lota, Tradisi Menulis Etnik Ende

Sahabat Flobamora

Tentang orang-orang Ende yang mendiami wilayah pesisir, seringkali ada guyonan tentang aktivitas membuang hajat di pinggir pantai. Cerita tentang ata ma’u (orang Ende di pesisir) tentunya tidak sekedar buang hajat yang unik atau kemampuan melautnya yang mumpuni. Ata ma’u ternyata menyimpan peradaban yang luar biasa.

Tahukah kalian bahwa orang Ende (ata ma’u) memiliki aksaranya tersendiri? Aksara lota namanya. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang Ende sudah memiliki tradisi menulis sejak lama.  Sama seperti wilayah pesisir lainnya, di Timur Kuno misalnya, pertemuan lintas budaya antar pedagang memungkinkan pertukaran kebudayaan.

Demikian halnya dengan Ende. Orang-orang Ende telah dari seabad yang lalu menjalin hubungan dengan orang Bima dan Makasar (Bugis). Dalam Ritumpanna Welenrennge: Telaah Filologis Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik Galigo, Ambo Enre (1986) menyebutkan bahwa Ende dan Bima sama-sama pernah memiliki aksara yang mirip dengan aksara Bugis.

Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh S. Ross pada tahun 1872. Penelitiannya yang berjudul Controleer Onder Afdeelingen Endeh ini kemudian dibukukan oleh Suchtelen pada tahun 1921 dalam Encyclopaedisch Bureau Endeh Flores. Menurutnya, tulisan-tulisan (aksara lota) yang berkembang di Ende berasal dari Bugis yang dalam perkembangannya beradaptasi dengan kondisi Bahasa dan budaya setempat.

Aksara lota yang berkembang di Ende digunakan dalam tradisi dan ekspresi budaya setempat. Salah satunya adalah dalam acara sunatan (seza). Lota dalam acara seza ini  disampaikan dalam bentuk woi (nyanyian ratapan). Sebelum melantunkannya, woi selalu ditulis terlebih dahulu menggunakan aksara lota. Naskah ini dibacakan sebelum upacara sunat (seza) dilangsungkan.

Menurut Banda (2005), naskah woi yang dibawakan biasanya digulung dan dijepitkan pada paruh burung. Burung tersebut dianyam dari daun lontar. Pada bagian paruhnya dibiarkan sedikit terbuka untuk diletakkan naskah woi ini. Burung lontar itu disimpan di atas beras atau barang antaran (ozo tu pati) sebagai bagian dari seremonial adat.

Meski orang-orang Ende (ata ma’u) sudah mengenal tradisi menulis ini sejak lama, perkembangannya hingga kini tidaklah signifikan dan bahkan mulai menghilang. Melacak jejak aksara lota terkesan cukup sulit saat ini. Naskah-naskah woi yang dipakai dalam acara seza ana tidak dianggap cukup penting untuk kemudian disimpan.

Referensi:

Banda, Maria Mathildis & Ida Ayu Shruti, “Apresiasi Lota Serha Ana dan Adat Wurhu Mana Dalam Memaknai Dialog Antaragama di Ende (Catatan tentang Aksara Lota dan Kearifan Lokal Ende” dalam Philipus Tule & Maria Mathildis Banda, Pengembangan Kerukunan Umat Beragama di NTT, (Ledalero: Maumere, 2007).

Share your love
Avatar photo
Baldus Sae

Saya adalah jurnalis pariwisata di eastnusatenggara.id
Aktif terlibat dalam riset di bidang kebudayaan dan pariwisata (Yayasan Dian Peradaban Negeri), Jurnalis & Editor di Media Pendidikan Cakrawala NTT.

Articles: 9