Sahabat Flobamora…
Di Flores Timur tepatnya di Kecamatan Solor Barat, terdapat sekelompok masyarakat yang mempunyai kampung asal atau lewo puke tana nimun bernama Balawelin. Orang-orang Balawelin berbahasa daerah Lamaholot. Seturut cerita, Balawelin mempunyai kisahnya tersendiri yakni tentang bagaimana menaklukan alam untuk membangun kampung halaman.
Dikisahkan bahwa orang-orang Balawelin dulunya mendiami kampong Lewo Kluan Lala Eban, Tana Bala Koran Gobak. Kehidupan mereka di tempat ini mengalami banyak tantangan. Jumlah mereka kian hari kian berkurang. Angka kematian terus bertambah. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berpindah dari tempat itu ke tempat-tempat yang lainnya.
Namun demikian, kisah serupa masih juga mereka alami saat menghuni kampong Lewo pusun Burak, Tana Burak Kambalese. Makin hari, jumlah mereka terus berkurang dan bahkan terancam punah.
Di saat mereka sudah kehilangan harapan, muncullah Bapa Timu, Ema Wara – Bapa Timur Ibu Barat dalam wujud seekor buaya darat (Kobu Mogu, Moga Gaya). Kepada tuan tanah, Subaraya namanya, buaya darat ini menitip pesan lewat seekor burung ketouk kebik.
“Subaraya harus membuka perkampungan baru bagi warganya di tempat di mana saat itu kepalanya terletak dan kampong itu harus diberi nama Lewo Gika Ukun Tuka, Tana Pi Lega Lara (kampong pada persimpangan jalan – timu wara ile hari – timur barat utara selatan)” demikian isi pesan buaya darat itu.
Permintaan itu disanggupi Subaraya. Bersama warganya, Subaraya membuka lahan baru untuk perkampungan di sebuah hutan yang telah ditentukan oleh Buaya darat ini. Mereka lalu menumbangkan semua pohon di hutan tersebut. Hanya ada satu pohon yang tidak bisa ditumbangkan. Pohon itu bernama loo.
Kendati sekuat tenaga mereka berusaha menumbangkan loo, pohon itu tidak tumbang juga. Merasa aneh, para penebang lalu meneliti keadaan pohon ini. Mereka kaget karena ternyata di atas pohon itu ada seekor ular berkepala tujuh.
Melihat kejadian aneh ini, mereka lalu mendatangkan seorang molang (dukun), Koki Kaha namanya. Ia lalu membuat sebuah ritus adat untuk menumbangkan pohon itu. Sayang, pohon itu tidak juga tumbang. Mereka pun berpikir keras, cara apalagi yang harus digunakan untuk menumbangkan loo selain melalui dukun tadi.
Setelah dipikir-pikir, mereka lalu mengambil sehelai kain ketipa (yang mahal harganya) dan sebatang bala (gading). Kain dililit pada batang kayu loo dan gading diletakkan dikaki loo. Cara ini terbukti berhasil. Seorang algojo bernama Leyo Kaha berhasil menumbangkan loo.
Setalah loo tumbang, masih tersisa satu tantangan lagi. Ular berkepala tujuh itu harus ikut dibunuh. Koki Kaha, si dukun tadi lalu meminta bantuan tiga temannya yang adalah sesama dukun. Bermodalkan amupalea (akar obat), ketiganya berhasil melemahkan ular itu dan Suba Litoama Kaha akhirnya berhasil membunuh ular itu. Bangkai ular itu kemudian diletakkan di Eka Date (tempat diam yang jahat).
Loo sudah tumbang. Ular berkepala tujuh ikut terbunuh. Kini saatnya penduduk berpindah dari lewo tanah Burak ke daerah loo. Tempat baru ini kemudian diberi nama Lewo Pi Bala Nawa, Tana Pi Kora Goka (kampong tempat tinggal gading, tempat terhampar kain Ketipa).
Di lokasi baru ini, awalnya penduduk di tempat ini masih sering bertikai tetapi sesudah dibentuknya Semata Pa (Empat serangkai) yang adalah pemimpin kampong halaman (lewo tana) situasi kembali membaik. Nama kampong pun diubah menjadi Lewo Bala Lama Harun, Tana Harun Lama Dike atau Balawelin. Bala (gading) Welin (harga). Dengan demikian, nama Balawelin bermakna harga gading.